Lagi-lagi soal membuat fasilitas Read more.. atau Selengkapnya.. pada template baru (XML), topik ini rupanya yang paling banyak di baca dan di minati oleh para blogger baru. Hal ini terlihat dari banyaknya komentar yang masuk pada artikel tersebut, ada yang girang karena sudah merasa berhasil dan ada juga yang sedikit kecewa karena masih menemui kegagalan.
Dengan masih adanya kegagalan-kegagalan tersebut, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa metode yang saya sampaikan ternyata masih kurang untuk di pahami. Dari itu tentu harus di pikirkan cara yang tepat dalam penyampaian suatu panduan. Beberapa waktu yang lalu ada sebuah komentar yang masuk pada salah satu artikel saya (artikel yang mana saya lupa dan sedikit malas untuk membuka dokumen komentar) bahwa metoda penyampaian tersebut sangatlah mudah untuk di pahami, maka pada kesempatan kali ini saya akan mencoba metoda tersebut pada artikel membuat fungsi Read more.. atau Selengkapnya...
Saran saya, ketika anda melakukan Editting pada kode template, sebaiknya jangan memakai browser Internet Explorer terutama Internet Explorer 6, pakailah browser lain semisal FireFox ataupun Opera. Bagi yang belum mempunyai browser FireFox bisa mendownloadnya secara gratis di sini! dan untuk Opera bisa mendownloadnya di sini!, Kenapa jangan memakai Internet Explorer? ini merupakan pengalaman pribadi saya ketika melakukan editting sering menemukan pesan error ketika memakai IE, dan apabila memakai browser lain pesan Error tersebut tidak muncul (proses edtting sukses), dan saya pernah membaca di blogger forum banyak yang melaporkan isu ini dan pihak blogger sendiri menyarankan untuk sementara memakai browser lain selain IE (maaf lupa catat alamat link nya).
Bagi yang belum sukses membuat fungsi read more..., coba ikuti langkah berikut ini :
Langkah #1
Sign in di blogger dengan id anda.
Klik Pengaturan
Klik Format
Pada layar paling bawah, ada text area kosong disamping tulisan Template Posting, isi tesxt area kosong tersebut dengan kode di bawah ini :
Klik tombol Simpan Pengaturan
Pemasangan kode ini di maksudkan agar pada saat posting artikel, kode tersebut langsung muncul tanpa harus menuliskan terlebih dahulu, jadi membantu kita agar tidak harus selalu mengingat kode tersebut.
Langkah #2
Klik menu Dasboard
Klik Tata Letak
Klik tab Edit HTML
Klik tulisan Download Template Lengkap.
Silahkan save dulu template tersebut, ini di maksudkan untuk mengurangi resiko apabila terjadi kesalahan ketika melakukan editting pada template, kita masih punya back up data untuk mengembalikannya seperti semula
Beri tanda centang pada kotak di samping tulisan Expand Template Widget , lihat gambar di bawah :
Tunggu beberapa saat ketika proses sedang berlangsung
Silahkan anda cari kode berikut pada kode template milik anda :
atau kode di bawah ini (sama saja) ;
Hapus kode diatas, lalu ganti dengan kode di bawah ini (klik pada tombol untuk menandai):
Klik tombol Simpan Template
Selesai.
Cara Posting Artikel
Klik menu Posting
Klik menu Edit HTML, maka secara otomatis tampak kode yang telah kita setting tadi, yakni :
Tuliskan artikel yang ingin tampak pada blog sebelum kode :
Tulis keseluruhan sisa artikel sesudah kode di atas tadi dan sebelum kode :
Klik tombol bertuliskan MEMPUBLIKASIKAN POSTING
Klik tulisan Lihat Blog(di jendela baru) untuk melihat hasil dari postingan kita, kemudian lihat apakah hasilnya sukses atau tidak. Jika tidak, mungkin ada bagian yang terlewatkan. Coba lihat kembali langkah diatas
Mudah-mudahan dengan adanya postingan ini tidak ada lagi yang mengalami kegagalan dalam membuat menu Read more...
Bagi anda yang mengikuti tutorial ini dan mengalami kegagalan, jangan panik ketika blog anda menjadi amburadul (katanya begitu dalam komentar), upload kembali backup templatenya dan nanti akan kembali ke keadaan semula sebelum di edit.
Selamat mencoba !
Selengkapnya...
Sabtu, 30 Januari 2010
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 22.14 0 komentar
Verifikasi dan Validasi Metoda di Laboratorium
Jumat, 06 November 2009
Didalam verifikasi metode, kinerja yang akan diuji adalah keselektifan seperti uji akurasi (ketepatan) dan presisi (kecermatan). Dua hal ini merupakan hal yang paling minimal harus dilakukan dalam verifikasi sebuah metode. Suatu metoda yang presisi (cermat) belum menjadi jaminan bahwa metode tersebut dikatakan tepat (akurat). Begitu juga sebaliknya, suatu metode yang tepat (akurat) belum tentu presisi.
Hubungan antara akurasi dan presisi dalam uji metode dapat terjadi dalam empat hal:
1. Akurasi dan presisi sama-sama rendah
2. Presisi tinggi, akurasi rendah
3. Presisi rendah, akurasi tinggi
4. Akurasi dan Presisi tinggi.
Jika diimajinasikan kedalam dunia nyata, akurasi dan presisi digambarkan dengan anak-anak panah yang dilepaskan dari busur dan sasaran tembak. Dikatakan akurat dan presisi atau cermat dan tepat, jika anak panah yang dilepaskan dari busur tepat mengenai pusat sasaran panah yang dituju. Ketika anak panah kedua dilepaskan, maka harus tepat mengenai pusat sasaran, dan seterusnya. Artinya, setiap kali pengulangan berada pada sasaran yang hendak dituju.
Meskipun demikian, akurasi tidaklah sama dengan presisi dan tidak sama dengan reliabilitas/keandalan suatu data. Akurasi diartikan sebagai kedekatan hasil analisa terhadap nilai yang sebenarnya. Presisi diartikan sebagai kedekatan antara sekumpulan hasil analisa. Sedangkan reliabilitas data adalah gabungan antara presisi dan akurasi. Dengan kata lain, akurasi bertujuan untuk mendapatkan suatu nilai yang benar. Presisi bertujuan untuk mendapatkan nilai yang sama. Sedangkan reliabilitas data adalah untuk mendapatkan nilai yang benar dan sama.
Reliabilatas data (keandalan suatu data) merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh suatu laboratorium analisa. Suatu laboratorium yang berkualitas harus dapat mengeluarkan data-data yang andal dan dapat dipercaya (memiliki akurasi dan presisi tinggi). Dalam skala industri, laboratorium bertugas sebagai “pabrik” yang memproduksi data, kemudian data ini akan diteruskan kepada pihak proses yang memproduksi barang yang sebenarnya. Dan tentu saja mereka akan memproduksi barang sesuai dengan data-data yang dikeluarkan laboratorium. Apa jadinya jika formula dan analisa yang dikeluarkan laboratorium (misalnya farmasi) salah ? Bisa jadi obat yang akan diproduksi akan tidak sesuai dengan fungsinya.
Validasi Metode
Berdasarkan SNI 19-17025-2000, validasi adalah konfirmasi suatu metode melalui pengujian dan pengadaan bukti bahwa syarat-syarat tertentu dari suatu metode telah dipenuhi.
Validasi perlu dilakukan oleh laboratorium terhadap :
1. Metode non standar
2. Metode yang dikembangkan sendiri
3. Metode standar yang digunakan diluar lingkup yang dimaksud
4. Metode standar yang dimodifikasi
5. Metode standar untuk menegaskan dan mengkonfirmasikan bahwa metode tersebut sesuai dengan penggunaannya.
Dalam melakukan validasi metode parameter yang harus diuji meliputi :
Limit of detection merupakan batas deteksi yang bisa diuji pada konsentrasi paling rendah.
2. Limit of Quantitation
Limit of quantitation merupakan konsentarsi terendah dari analit yang dapat ditentukan dengan akurasi yang dapat diterima.
3. Working Range
Working range merupakan rentang kerja, mulai dari batas terendah sampai batas tertinggi.
4. Linear Range
Linear range merupakan rentang linear dalam rentang kerja.
5. Sensitivitas/ Kepekaan
Sensitivitas merupakan kemampuan untuk mengukur analit dengan akurat tanpa adanya gangguan dari komponen matriks dalam sampel.
6. Ketahanan Metode
Ketahanan metode merupakan ukuran agi suatu metode dalam mempertahankan kinerja dimana pengaturan kondisi analisa tidak se-sempurna seperti yang ditetapkan didalam metode yang digunakan.
2. Presisi
Presisi diartikan sebagai kedekatan antara sekumpulan hasil analisa. Presisi menggambarkan kesalahan acak.
Sedangkan dalam verifikasi tidak selengkap dalam melakukan validasi, parameter minimal yang diuji adalah akurasi dan presisi.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.42 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Validasi Metode Analisis
2. Precision (keseksamaan)
3. Selektivitas (Spesifisitas)
4. Linearitas dan Rentang
6. Ketangguhan metode (ruggedness)
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.37 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Tenaga surya membunuh bakteri dalam air
Disinfeksi air dengan tenaga surya merupakan sebuah cara yang sederhana untuk membunuh bakteri dalam air. Metode ini digunakan oleh rumahtangga-rumahtangga di negara-negara berkembang dimana ketersediaan air minum yang aman cukup langka. Mereka mengisi botol-botol plastik dengan air dan menjemurnya di bawah sinar matahari, dimana radiasi UV dan suhu air yang meningkat membunuh bakteri dalam enam jam. Tetapi metode ini memerlukan sinar matahari yang kuat dan volume air yang bisa disterilkan terbatas.
Kevin McGuigan dari The Royal College of Surgeons di Irlandia, Dublin, dan rekan-rekannya menyelidiki disinfeksi air yang terkontaminasi Escherichia coli dengan menggunakan tenaga surya dalam reaktor-reaktor aliran volume besar. Sebuah pompa mensirkulasi air antara sebuah tangki penampung dan sebuah tabung kaca yang dikelilingi oleh penangkap sinar matahari yang memfokuskan energi matahari ke dalam tabung. Mereka menemukan bahwa penonaktifan E. coli tergantung pada total dosis sinar matahari bukan pada intensitas cahayanya. Mereka juga menunjukkan bahwa reaktor-reaktor ini bisa menjadi tidak efektif karena bakteri mendapatkan dosis radiasi yang tidak kontinyu ketika bakteri-bakteri tersebut mengalir antara tangki penampung yang tidak terkena cahaya dengan tabung yang terkena cahaya. Jika bakteri tidak dinonaktifkan secara sempurna oleh sinar matahari, maka keadaan tidak terkena cahaya akan memberi waktu bagi bakteri-bakteri ini untuk pulih dari kerusakan akibat radiasi, sehingga menjadikan mereka lebih resisten ketika disinari ulang.
“Bagi saya, signifikansi utama dari penelitian ini adalah bahwa metode-metode ini bisa menjadi efektif, tetapi penghitungan ulang aliran dalam reaktor disinfeksi surya harus dirancang dengan cermat untuk menghindari kemungkinan terbentuknya sub-populasi patogen resisten yang tetap bertahan akibat keterpaparan sinar matahari yang tidak lengkap,” kata McGuigan.
“Penelitian ini merupakan sebuah kontribusi penting yang menunjukkan kelebihan dan kekurangan potensial dari disinfeksi dengan sinar matahari, tergantung pada tipe reaktor cahaya surya dan cara operasi,” tanggap Cesar Pulgarin, seorang ahli di bidang proses dekontaminasi biologis di Swiss Federal Institute of Technology di Lausanne, Switzerland. “Ini juga merupakan upaya pertama untuk menilai dosis UV minimum yang diperlukan untuk penonaktifan bakteri secara sempurna dengan disinfeksi tenaga surya.”
WHO memperkirakan bahwa lebih dari satu milyar orang kekurangan akses terhadap air minum yang aman, yang menghasilkan jutaan kematian setiap tahun akibat penyakit-penyakit terkait air seperti diare. McGuigan mengatakan dia berencana memperkenalkan teknologi reaktor alir ini di negara-negara berkembang, dimana dia berharap ini bisa memberikan bantuan darurat bagi komunitas-komunitas yang dilanda kelaparan, banjir, dan peperangan.
Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.33 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Spektrofotometri
2. Sumber sinar
4. Detektor
Berfungsi untuk merubah sinar polikromatis menjadi sinar monokromatis sesuai yang dibutuhkan oleh pengukuran
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.29 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Sensor pestisida dari kertas
Kertas merupakan material yang sangat menarik untuk peranti analitik karena relatif murah, melimpah, dan dapat memindahkan fluida dengan kerja kapiler tanpa kekuatan eksternal. Fokus terbaru terhadap platform-platform diagnostik berbasis perubahan warna dan berbasis-kertas telah muncul karena platform-platform semacam ini bisa digunakan pada lokasi dimana sumberdaya yang ada terbatas.
Tim Brennan menggunakan AChE sebagai sebuah reporter karena dihambat oleh pestisida seperti organofosfat dan karbamat. “Organofosfat masih digunakan di negara-negara berkembang untuk penyemprotan tanaman-tanaman pertanian,” papar Brennan. “Sensor yang berbasis AChE memiliki potensi untuk pemeriksaan cepat organofosfat di lapangan.”
Print inkjet Piezoelektrik digunakan untuk mendeposisikan reagen-reagen pada dasar berbasis kertas untuk penyiapan penggunaan, sehingga reagen-reagen tambahan tidak diperlukan pada saat analisis. AChE dan sebuah substrat yang berubah warna, indofenil asetat (IPA), dijebak dalam dua zona terpisah pada potongan kertas 1 x 10 cm dengan menggunakan tautan-tautan silika yang berasal dari sol-gel biokompatibel, dengan enzim yang terjebak dalam zona pengindera dan IPA yang tersimpan dalam zona substrat.
Untuk menguji sebuah sampel, ujung sensor kertas ditempatkan dalam larutan sampel, yang mengalir melalui kerja kapiler ke zona pengindera dimana ia dibiarkan berikunbasi. Selanjutnya, ujung lainnya dari sensor dicelupkan kedalam air suling sehingga aliran dalam arah berlawanan menekan IPA dari zona substrat ke area pengindera. Disana, AChE menghidrolisis IPA, membentuk perubahan warna dari kuning ke biru. Intensitas warna biru yang diamati (baik dengan mata telanjang atau dengan kamera digital) berbanding terbalik dengan jumlah pestisida yang terdapat dalam sampel. Brennan mengatakan pendekatan aliran dua-arah ini sangat meningkatkan batas deteksi karena memungkinkan analit-analit berinkubasi dalam zona pengindera AChE sebelum IPA datang.
Tim peneliti ini menguji metode pada bahan makanan sesungguhnya seperti susu dan jus apel yang telah dibubuhi dengan pestisida dan ditemukan bahwa sensor berbasis kertas efektif dalam mendeteksi kontaminan. Ketika mereka menguji hapusan yang diambil dari apel yang disemprot dengan pestisida, hasil uji berbasis kertas sebanding dengan metode spektrometri massa konvensional.
“Uji kompetitif dimana analit berkurang, dan bukan meningkat, sinyal lazimnya masih kurang dieksplorasi untuk uji-uji berbasis kertas dibanding uji langsung,” kata Samuel Sia dari jurusan teknik biomedik Columbia University, US.
Para peneliti mengharapkan agar pendekatan mereka bisa digunakan untuk screening unsur-unsur runut dari pestisida dalam lingkungan dan sampel-smpel makanan di lapangan. Akan tetapi, walaupun peranti ini memiliki masa aktif yang sekurang-kurangnya satu bulan jika disimpan pada 4oC, Sia menekankan bahwa ini masih bisa menjadi batu sandungan pada beberapa situasi, karena penyimpanan pada 4oC “tidak layak pada kebanyakan tempat yang jaraknya jauh”.
Adapted from: chemistryworld Selengkapnya...
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.23 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Menjadikan ikan berfluoresensi untuk pendeteksian merkuri
Merkuri merupakan salah satu polutan yang sangat toksik dan umum ditemui. Tetapi meskipun beberapa penyelidik fluoresensi telah ada untuk logam merkuri namun kebanyakan hanya mendeteksi bentuk anorganik dari logam ini; ada beberapa laporan tentang penyelidik untuk spesies merkuri organik seperti metilmerkuri. Meskipun demikian, unsur ini umum ditemukan dalam bentuk organik, yang lebih toksik dibanding merkuri anorganik karena lipofilisitasnya memungkinkan mereka melintasi membran-membran biologis. Konsekuensinya, cara-cara baru untuk mendeteksi spesies-spesies merkuri ini, khususnya pada organisme, sangat penting.
Sekarang, Kyo Han Ahn dari Pohang University of Science and Technology, Injae Shin dari Yonsei University dan rekan-rekannya telah memenuhi permintaan ini. Mereka telah mengembangkan penyelidik sederhana yang bereaksi baik dengan merkuri organik maupun anorganik menghasilkan sebuah produk fluoresen. Mereka telah menggunakan penyelidik (probe) ini untuk memantau spesies merkuri pada sel-sel mamalia dan organ-organ ikan zebra yang diinkubasi dengan merkuri organik.
Ahn sepakat dan mengatakan penyelidik tersebut dapat menjadi bagian penelitian keracunan merkuri. “Sekarang kita sudah memiliki penyelidik molekuler yang bisa digunakan untuk meneliti dan menelusuri metilmerkuri toksik pada spesies hidup. Dengan menggunakan penyelidik ini, kita bisa meneliti distribusi dan perjalanan metilmerkuri dalam organisme,” paparnya.
Tahapan selanjutnya adalah membuat penyelidik yang lebih sensitif. “Salah satu isu yang paling menantang dalam pendeteksian merkuri adalah bagaimana membedakan merkuri anorganik dari metilmerkuri,” kata Ahn. “Kami belum sampai pada penyelidik seperti itu tetapi kami sedang berupaya keras untuk menemukannya suatu hari nanti.”
Disadur dari: Chemistry World
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.20 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Meng-Close Up Molekul
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.17 0 komentar
Label: Kimia Analisis
“Hidung” elektronik bisa membantu memahami cara kerja indera penciuman
Tai Hyun Park dan Jyongsik Jang dari Seoul National University menggabungkan keahlian tim peneliti mereka di bidang bioteknologi dan peranti polimer penghantar, dengan menempelkan protein-protein reseptor penciuman (hOR) pada tabung-nano polimer penghantar. Mereka kemudian melekatkan tabung-tabung nano ini ke sebuah array mikroelektroda untuk membuat transistor efek-medan, yang kemudian memungkinkan perubahan sinyal listrik yang terjadi ketika molekul-molekul bau terikat ke protein reseptor yang akan dideteksi.
Park mengatakan sistem ini bisa mendeteksi bau sangat baik. “Protein tersebut memiliki gugus-gugus amina pada permukaannya dan polimer-polimer penghantar difungsikan dengan asam karboksilat, sehingga kami bisa mengikat protein ke tabung-nano secara kovalen dengan sebuah ikatan peptida,” paparnya. “Ikatan kovalen ini berarti bahwa apabila molekul target terikat ke reseptor, sinyal akan ditransfer sangat efektif ke tabung-nano.”
Reseptor yang digunakan pada piranti ini diketahui sangat baik dalam mengikat amil butirat, sebuah ester dengan aroma buah nanas atau buah aprikot yagn digunakan sebagai aditif makanan. Tim ini menemukan bahwa mereka bisa dengan mudah mendeteksi konsentrasi amil butirat yang sangat rendah (femtomolar), tetapi ester-ester terkait (butil- dan heksil-butirat) yang berbeda satu atom karbon dengan senyawa target, tidak menghasilkan respons pada konsentrasi 10 milyar kali lebih tinggi.
“Sensitifitas dan selektifitas peranti ini sangat baik,” komentar Park, “yang menandakan bahwa protein masih berfungsi baik dan tidak dipengaruhi total dengan melekat ke tabung-nano. Kami belum mengetahui pengaruh apa yang dimiliki oleh pengikatan tersebut terhadap pembentukan protein, tetapi kami bisa memahami bahwa pengikatan itu masih berfungsi!”
Walaupun peranti ini memiliki pengaplikasian yang jelas dalam mendeteksi molekul-molekul spesifik, Park menjelaskan bahwa mereka ingin menggunakannya untuk memahami secara lebih baik bagaimana indera penciuman manusia bekerja: “Terdapat sekitar 370 hingga 380 reseptor-reseptor olfaktory berbeda, tetapi banyak diantaranya yang tidak selektif untuk senyawa-senyawa tunggal dan kita tidak tahu apa target dari beberapa diantaranya. Kami ingin mengklonkan berbagai reseptor berbeda dan menempatkannya pada peranti-peranti seperti ini, dan kemudian membuat peranti-peranti dengan kombinasi reseptor-reseptor berbeda, untuk mencoba dan mendeteksi bau-bau yang lebih kompleks dan memahami bagaimana kami membedakannya.”
Jasmina Vidic, dari National Institute of Agricultural Research di Jouy-en-Josas, Perancis, meneliti piranti-piranti hidung bio-elektronik yang melibatkan protein-protein reseptor yang diletakkan dalam dwi-lapis lipid mirip membran sel. “Ini merupakan pertama kalinya saya melihat polimer-polimer penghantar digunakan untuk mengimobilisasi reseptor-reseptor penciuman,” komentar Vidic, “dan karena polimer-polimer ini berikatan kovalen dengan ikatan-ikatan amida mereka sangat stabil. Fakta bahwa polimer-polimer ini bisa secara selektif mendeteksi ligan target berarti bahwa reseptor-reseptor kemungkinan masih dalam bentuk yang baik setelah melekat ke peranti tersebut, yang mana sangat menjanjikan.
Disadur dari: Chemistry World
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.15 0 komentar
Label: Kimia Analisis
Telah diciptakan lampu pijar terkecil didunia
Dengan menyatukan dua hal pokok dari teori fisika yang bertentangan, yakni termodinamika dan mekanika quantum, sebuah tim dari UCLA (Departemen Fisika dan Astronomi) yang terdiri dari Chris Regan, Yuwei Fan, Scott Singer dan Ray Bergstorm akhirnya menciptakan sebuah lampu pijar terkecil dari penelitian mereka dengan menyatukan termodinamika dan mekanika kuantum.
Lampu pijar ini memanfaatkan kawat pijar yang terbuat dari karbon single nanotube yang hanya selebar 100 atom. Dengan kasat mata, kawat pijar tak terlihat sama sekali ketika lampu dimatikan, tetapi tampak bagaikan titik cahaya kecil ketika lampu dinyalakan.
Kurang dari 20 juta atom, kawat pijar tabung nano cukup besar keduanya untuk menerapkan asumsi statistik dari termodinamika dan cukup kecil untuk mempertimbangkan sebagai sebuah molekular itulah yang disebut sistem mekanik kuantum.
Karena radiasi black-body dan skala ukuran (nano) adalah perbatasan antara kedua teori, kita berpikir hal ini adalah sebuah perjanjian sistem untuk diselidiki,” Regan mengatakan, “Tabung nano karbon yang digunakan sebagai lampu kawat pijar ideal untuk tujuan mereka karena kecil dan stabilitas temperatur yang luar biasa.”
Tabung-tabung nano Karbon yang ditemukan pada tahun 1991, menggunakan karbon dalam satu bola lampu bukanlah satu ide baru. Thomas Alva Edison pada bola lampu aslinya pun menggunakan kawat pijar karbon. Penelitian yang dilakukan oleh tim UCLA tersebut persis seperti Edison, kecuali kawat pijar mereka adalah 100,000 kali lebih sempit dan 10,000 kali lebih pendek, untuk satu total volume hanya satu dari 1 millyar pada Edison.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.07 0 komentar
Label: Kimia Fisika
SOFCs Untuk Teknologi Energi Yang Efisien
SOFCs adalah sel elektrokimia yang dapat mengubah energi kimia menjadi energi listrik dari oksidasi bahan bakar (bahan bakar yang diperguanakan dapat berupa hidrokarbon maupun gas hydrogen). Reaksi antara bahan bakar dengan gas oksigen melibatkan serah terima electron sehingga dihasilkan arus listrik. Bila bahan bakar yang dipergunakan adalah gas hydrogen maka hasil samping reaksi ini adalah air, sehingga sumber energi dari SOFCs adalah energi yang ramah lingkungan oleh sebab itu SOFCs sekarang menjadi bahan penelitian yang berkembang untuk tujuan komersial.
Setiap satu sel SOFCs atau disebut juga sebagai modul terdiri 4 bagian utama yaitu anoda, elektrolit, katoda dan interkonektor. Interkonektor berada diantara anoda-elektrolit-katoda dan berfungsi untuk menghubungkan satu sel SOFCs dengan sel SOFCs yang lain sehingga energi listrik yang dihasilkan oleh setiap sel dapat digabungkan.
Untuk menghasilkan energi listrik dalam jumlah besar maka modul dirangkai satu sama lain dalam satu seri rangkain. Jadi rangkain keseluruhan SOFCs memiliki urutan sebagai berikut: Interkonektor-anoda-elektrolit-katoda-interkonektor-anoda-elektrolit-katoda-interkonektor dan seterusnya. Diantara modul harus terdapat pemisah (kita sebut sebagai: seals) untuk memastikan tidak ada udara dan bahan bakar yang akan tercampur, bila hal ini terjadi maka akan mengurangi efisiensi dari sel bahan bakar SOFCs dan dapat mengakibatkan terjadinya reaksi pembakaran di dalam modul.
Peizhen (Kathy) Lu, asisten professor bidang ilmu bahan dan teknik material di Virginia Tech. menyatakan bahwa, “seals adalah permasalahan terbesar yang harus dihadapi dalam pengembangan SOFCs secara komersial” dan seals ini menjadi salah satu kelemahan SOFCs yang harus segera dihadapi agar teknologi SOFCs ini dapat dikomersilkan.
Untungnya setelah melakukan riset yang panjang Lu berhasil menemukan suatu material berbahan dasar kaca yang dapat dijadikan sebagai seals potensial. Seals dari material kaca ini memiliki kekuatan dan daya tahan yang panjang untuk dipakai dalam rangkaian SOFCs. Tak ayal lagi dengan penemuan ini maka Departemen Energi Amerika Serikat tak segan-segan menggelontorkan dana sekitar $365,000 untuk mengembangkan riset Lu.
Lu menyatakan bahwa agar SOFCs dapat beroperasi maka diperlukan sumber bahan bakar. Salah satu sumber bahan bakar yang menjanjikan menurutnya adalah gas hydrogen, disebabkan gas hydrogen adalah sumber energi yang paling bersih dan ramah lingkungan yang pernah ada. Permasalahannya, gas hydrogen yang terdapat dialam jumlahnya terbatas.
“Kita harus mencari cara untuk mendapatkan sumber gas hydrogen” , kata Lu. Salah satu alternatif menurutnya adalah dengan menggunakan proses yang disebut sebagai “solid oxide elecrolyzer cell process”. Dengan proses ini gas buang berupa air dari SOFCs dapat diproses lagi untuk dihasilkan gas hydrogen dan oksigen. Gas hydrogen kemudian dapat digunakan lagi ke SOFCs dan gas oksigenya dapat dipakai untuk proses oksidasi gas hydrogen.
“Ketertarikan penelitian kami ada pada permasalahan yang timbul pada penggunaan material pada kondisi kritis untuk dapat menghasilkan energi listrik dan cara-cara untuk menghasilkan gas hydrogen dalam jumlah banyak dengan harga murah”, kata Lu yang juga merupakan seorang ahli dalam bidang desain material dan sintesis material.
Kata Miller yang merupakan Manager Lisensi Hak Intelektual Virginia Tech menyatakan,” Seal kaca yang telah ditemukan tersebut bebas dari barium oksida, kalsium oksida, magnesium, dan alkali oksida yang lain, sebagai tambahan seals tersebut hanya mengandung boron oksida dalam jumlah yang sangat sedikit sekali dan bahkan bisa diabaikan”.
Hal ini sangat penting mengingat sifat seals yang dipergunakan harus secara mekanis dan kimiawi kompatibel dengan berbagai macam oksida dan komponen logam sel bahan bakar mengingat penggunaan SOFCs selalu berulang dan melibatkan perubahan temperature dari temperature kamar ke temperature yang tinggi pada saat beroperasi yaitu sekitar 1,800 degrees F (1,000 C).
Referensi:
http://www.sciencedaily.com/releases/2009/05/090521184437.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Solid_oxide_fuel_cell
http://en.wikipedia.org/wiki/Regenerative_fuel_cell
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.05 0 komentar
Label: Kimia Fisika
Sel Bahan Bakar, Solusi Energi Masa Depan
Sel bahan bakar adalah alat yang menghasilkan energi listrik secara elektrokimia. Seperti halnya sel elektrokimia, sel bahan bakar memiliki anoda dan katoda. Pada anoda terdapat bahan bakar gas hidrogen. Sedangkan pada katoda terdapat gas oksigen yang digunakan sebagai oksidator. Hidrogen yang berasal dari anoda diubah menjadi ion hidrogen dan elektron. Pada katoda, oksigen direduksi dengan adanya elektron. Perbedaan potensial yang terjadi pada anoda dan katoda inilah yang menghasilkan arus listrik.
Sel bahan bakar telah menjadi salah satu fokus penelitian di negara- negara industri dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Dengan meningkatnya isu pemanasan global oleh gas rumah kaca, sel bahan bakar menawarkan energi ramah lingkungan yang tidak mengemisi gas CO2 sebagai penyumbang utama efek rumah kaca. Efesiensi sel bahan bakar secara teoritis dapat mencapai 100% adalah salah satu kelebihan yang tidak dapat dimiliki oleh pembangkit listrik dengan bahan bakar gas, minyak bumi dan batu bara yang menggunakan prinsip mesin Carnot. Dan yang paling terpenting adalah sumber bahan bakar yang melimpah, yaitu hidrogen. Dengan luas lautan mencapai dua pertiga permukaan bumi, air adalah salah satu sumber hidrogen yang tak terbatas.
Superioritas dari sel bahan bakar juga harus dibayar mahal dengan perlunya penelitian intensif guna mencapai pembangkit listrik yang murah, ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Pada tahun 2005, Amerika Serikat menganggarkan US$3,7 milliar untuk riset dan pengembangan sel bahan bakar dan hidrogen. Sel bahan bakar ini memerlukan material elektrokatalis sebagai anoda dan katoda yang dapat mengkatalisa reaksi oksidasi hidrogen dan reduksi oksigen. Saat ini, elektrokatalis yang superior adalah platina, logam yang sangat mahal dan langka jumlahnya sehingga banyak penelitian ditujukan untuk mencari material lain selain logam platina. Sumber hidrogen yang berasal dari air juga merupakan masalah yang saat ini dihadapi. Mahalnya proses elektrokatalisa air untuk mendapatkan hidrogen juga merupakan kendala pemasaran sel bahan bakar saat ini, sehingga belum dapat bersaing dengan bahan bakar minyak bumi.
Berkurangnya sumber daya minyak bumi dan tuntutan untuk mengurangi gas rumah kaca menjadikan sel bahan bakar ini suatu solusi guna mencegah krisis energi dan lingkungan. Dengan berkembangnya hasil penelitian, harga energi sel bahan bakar ini akan bisa ditekan dan akan menjadi salah satu sumber energi alternatif utama dimasa yang akan datang.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.04 0 komentar
Label: Kimia Fisika
Mengubah Urin Menjadi Bahan Bakar Hidrogen
Penggunaan gas hydrogen untuk bahan bakar mobil telah menjadi alternative bahan bakar yang penggunaannya semakin meningkat, hal ini disebabkan dengan mengggunakan gas hydrogen maka gas buang yang dihasilkan tidak mencemari lingkuangan karena yang keluar hanya uap air. Akan tetapi salah satu kendala yang dihadapi adalah kurangnya sumber gas hydrogen yang murah dan mudah diperbaharui. Gerardine Botte dari Universitas Ohio kemungkinan telah menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, dengan menggunakan pendekatan proses elektrolisis dia berhasil menghasilkan gas hydrogen dari urin, salah satu limbah yang sangat berlimpah di bumi dan tentu saja urine ini menjadi sumber gratis sehingga dapat memangkas biaya produksi gas hydrogen.
Botte mengatakan bahwa ide ini muncul kepadanya beberapa tahun lalu pada saat dia menghadiri konferensi bahan bakar, saat itu dia mendiskusikan bagaimana cara mengubah sumber daya air menjadi sumber daya energi yang bersih. “Saya berharap kita bisa mengubah air menjadi sumber energi yang ramah lingkungan”, katanya. Dia pun mulai memikirkan dengan mencari sumber limbah yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menghasilkan gas hydrogen.
Kandungan urin terutama adalah urea, dimana urea ini memiliki empat atom hydrogen per molekulnya, iktan hydrogen dengan ataom N dalam urea lebih lemah dibandingkan ikatan hydrogen dengan atom O dalam air. Botte kemudian memutuskan untuk menggunakan elektrolisis untuk memecah bagian molekul urea ini dengan menggunakan elektroda berbasis nikel yang bersifat selektif dan efisien untuk mengoksidasi urea. Untuk memecah molekul urea ini diperlukan voltase sebesar 0,37 Volt yang mana voltase ini masih lebih rendah jika dibandingkan yang diperlukan untuk mengelektrolisis air yaitu sekitar 1,23 volt.
Selama proses yang terjadi urea teradsorbsi pada elektroda nikel, yang kemudian mengalirkan electron yang kemudian molekul urea terurai. Gas hydrogen murni terbentuk pada katoda, gas nitrogen dan sedikit gas oksigen dan hydrogen terbentuk di anoda. Gas karbondioksida juga dihasilkan pada saat elektrolisis akan tetapi gas ini tidak bercampur dengan gas yang dihasilkan pada anoda dan katoda disebabkan gas ini bereaksi dengan KOH membentuk kalium karbonat. “Perlu waktu bagi kami untuk menggunakan rine manusia sebagai percobaan sehingga kami bisa mempubilkasikan penelitian kami ini”, kata Botte.
Menurut Botte, proses yang ada untuk memisahkan urin dari air saat ini sangat mahal dan tidak efisien. Urin umumnya terhidrolisis menjadi amonik sebelum terlepas keudara sebagai gas ammonia. Terbentuknya gas ini akan membentuk ammonium sulfat dan partikel nitral di udara, dimana kedua zat ini dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan bagi kesehatan manusia seperti asma, bronchitis, dan kematian dini.
Grup peneliti tersebut telah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari sitem elektrolisis yang akan dipakai termasuk mempelajari mekanisme reaksinya secara komputasional. Botte meyakini bahwa teknologi ini akan mampu dibuat dalam skala yang besar untuk menghasilkan gas hydrogen. “salah satu kendala yang menghalangi proses adalah banyaknya garam yang ada dalam sumber urin,” kata Botte.
Bruce Logan, seorang ahli energi dari limbah dan direktur Pennsylvania State University’s H2E Center and Engineering Environmental Institute memberikan applause pada Botte yang telah memberi kontribusi atas alternative produksi hydrogen tanpa memecah molekul air. Bagaimanapun juga dia memberi suatau pernyataan bahwa urea lebih cepat diubah menjadi ammonia dengan menggunakan bakteri, hal ini tentu saja menjadi batasan penelitian yang dilakukan oleh Botte. Tapi Logan merasa bahwa ide Botte sangat bagus dengan memikirkan bagaimana cara untuk mengolah limbah urine kita tidak hanya untuk menghasilkan hydrogen akan tetapi juga untuk menghasilkan sumber lain misalnya fosfor sebagai sumber pupuk menginggat dimasa mendatang seperti halnya minyak bumi fosfor bisa menjadi barang yang langka dan kita harus memikirkan cara untuk mericycle fosfor untuk keperluan di masa datang.
Sumber : http://www.rsc.org/chemistryworld/News/2009/July/02070902.asp
sumber gambar: http://www.sxc.hu
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 07.01 0 komentar
Label: Kimia Fisika
Katalis Homogen Yang Unik, Terpisah Sendiri Setelah Reaksi
Persoalan utama yang sering dijumpai dalam industri maupun sintesa kimia menggunakan katalis homogen adalah sulitnya melakukan pemisahan katalis dari produk. Metode yang jamak digunakan adalah destilasi atau mengubah kepolaran dan hal tersebut menyita material maupun energi cukup besar.
Impian para ilmuwan katalis dan industrialis adalah mendapatkan katalis homogen yang memenuhi syarat-syarat ekonomis dan mudah dipisahkan setelah reaksi berlangsung sehingga dapat segera dipakai lagi. Pada bulan Agustus 2003, ilmuwan dari laboratorium nasional Brookhaven, R. Morris dan Vladimir Dioumaev memperlihatkan semacam katalis homogen yang bisa mengendap setelah reaksi hidrosililasi senyawa keton selesai berlangsung. Senyawa kation kompleks tungsten yang memiliki ikatan koordinasi lemah terhadap anion merupakan pemecahan persoalan dalam reaksi tersebut.
Logika prosesnya sebenarnya sederhana yaitu, sebelum terjadi reaksi, katalis dan reaktan benar-benar larut sempurna karena memiliki kepolaran yang sama. Namun, seiring proses berjalan, ternyata produk yang dihasilkan memiliki kepolaran berbeda dan akibatnya adalah terpisahnya katalis dari produk dengan sendirinya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah terbentuknya dua fasa yaitu produk dan katalis yang membentuk material semacam minyak.
Memang teknologi ini belum bisa digeneralisir karena reaksi hidrosililasi keton adalah reaksi yang spesifik dan tidak digunakannya pelarut apapun pada reaksi tersebut. Namun ini benar-benar penemuan baru dan menggembirakan karena terbuka kesempatan melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya bidang katalis homogen.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 06.59 0 komentar
Label: Kimia Fisika
Gabriel, Kau merepotkan saja !?..
Untuk kejadian sehari-hari macam membeku dan mendidihnya air, kedua angka tersebut memang aneh, bahkan bagi mereka yang biasa menggunakannya. Angka-angka tersebut terlanjur demikian karena seorang pembuat botol dan fisikawan amatir Jerman bernama Gabriel Fahrenheit (1868-1736) membuat beberapa keputusan buruk.
Peralatan untuk mengukur temperature sudah ada sejak 1592,walaupun belum seorang pun tahu definisi temperature, dan tidak seorang pun mencoba memasang angka-angka pada alat ukur itu.
Maka di tahun 1714 Fahrenheit membuat tabung kaca berisi benang air raksa yang sangat tipis. Ia memilih benda cair itu karena cantik, mengkilap, dan mudah dilihat sewaktu naik dan turun akibat pemuaian atau penyusutan karena mengalami pemanasan dan pendinginan. Akan tetapi thermometer Fahrenheit seperti alat sejenis terdahulu tanpa angka, dan terpikirlah olehnya untuk memasang angka-angka pada alatnya, maksudnya supaya orang-orang lebih mudah membuat perbandingan.
Maka Fahrenheit mulai merancang seperangkat alat untuk dituliskan pada tabung kacanya. Namun,susunannya harus sedemikian sehingga air raksa akan naik ke angka yang sama pada semua thermometer ketika berada pada temperature yang sama. Dan disinilah Gabriel mulai berulah. Para sejarahwan mungkin masih berdebat soal jalan pikirannya sesungguhnya, namun cerita berikut mungkin masuk akal.
Pertama, ia berpendapat bahwa karena sebuah lingkaran penuh memiliki 360 tahap yang disebut derajat, alangkah baiknya jika thermometer pun memiliki 360 tahap-sekalian menyebutnya derajat-untuk rentang antara temperature air beku dan temperature air didih. Akan tetapi 360 akan menyebabkan tiap derajatnya terlalu kecil, maka sebagai ganti ia memilih 180.
Kini mantaplah satu derajatnya, yakni tepat 1/180 jarak tabung antara tanda air membeku dan tanda air mendidih, selanjutnnya ia masih bingung tentang angka yang dipakai. Nol dan 180? 180 dan 360? Atau 32,212?(bukankah 212-32=180?).
Maka, ia memasukkan thermometer nya ke dalam sebuah campuran paling dingin yang dapat dibuatnya-sebuah campuran antara es dan suatu bahan kimia yang disibutnya ammonium chloride-dan disebutnya termperatur itu “nol”.(Gawat, dalam hal ini Anda terlalu arogan,Gabriel!! Begitu yakinkah Anda bahwa orang lain tidak akan mampu membuat temperature hamper 460 derajat di bawah temperature Anda.)
Ketika ia mengukur temperature nya tubuh dia sendiri, termometernya naik sampai 100 angka. (Baiklah, tepatnya 98.6 tapi jangan lupa menyimak kenapa angkanya demikian.) itulah salah satu kelebihan Fahrenheit ; sebagai manusia ia ingin agar temperature tubuh manusia mencatat angka 100 pada skala thermometer.
Sesudah itu, ia memasukkan termometernya ke dalam campuran es dan air, dan menemukan air raksa di dalamnya 32 derajat lebih tinggi daripada temperature nol campuran dinginnya. Maka, itu sebabnya titik beku air menjadi 32 derajat pada skala Fahrenheit. Akhirnya, jika temperature air mendidih harus 180 derajat lebih tinggi dari itu, berarti ia mendapat 32 angka + 180, atau 212. Sampai disini dulu cerita tentang Gabriel Fahrenheit.
Enam tahun setelah tubuh Fahrenheit menjadi sama dengan sekelilingnya, seorang astronom Swedia bernama Anders Celsius (1701-1744) mengusulkan skala centigrade untuk temperature, yang sekarang kita sebut skala Celcius. Centigrade artinya 100 derajat; ia menetapkan ukuran derajat sedemikian sehingga antara titik beku dan titik didih air terdapat 100 derajat, bukan 180 derajat. Selanjutnya ia mendefinisikan “temperature nol”nya pada titik beku air, sebagai titik acuan yang dapat diolah dengan mudah. Maka ia menetapkan titik didih air jatuh pada temperature 100 derajat.(Yang menarik,dengan alasan yang hanya diketahui para astronom Swedia, Celsius mula-mula menetapkan 100 untuk titik beku dan nol untuk titik didih, tetapi sepeninggal orang membalik ketetapan tersebut.
Lalu, bagaimana dengan angka 98.6 yang oleh sebagian orang disebut sebagai temperature tubuh manusia “normal”? Itu jangan dianggap serius. Suhu manusia berubah-ubah sedikit tergantung waktu dalam sehari, atau dalam sebulan(untuk wanita), juga karena metabolisme. Akan tetapi suhu manusia memang rata-rata berkisar pada 37 derajat Celsius pada kebanyakan orang, maka dokter menyebutnya “normal”. Coba berapa harga Fahrenheit untuk 37 derajat Celsius? Betul, 98.6 derajat, angka yang kelihatan keren daripada angka bulatnya..
Bicara soal konversi, saya tidak pernah bosan untuk mengumumkan sebuah cara mudah untuk mengonversi temperature. Saya tidak tahu mengapa guru-guru terus menerus mengajarkan rumus-rumus yang rumit itu di sekolah, dengan angka 32, kurung-kurung dan pecahan yang tidak tetap,padahal ada cara yang lebih jauh dan lebih sederhana namun akurat.
Bagini caranya :
Untuk mengubah Celsius ke Fahrenheit, tambahkan 40 kalikan dengan 1,8 kemudian kurangi dengan 40.
Untuk mengubah Fahrenheit ke Celsius,tambahkan 40 bagi dengan 1,8 kemudian kurangi 40
Hanya begitu saja. Rumus di atas mujarab karena (a) 40 derajat di bawah nol pada kedua skala mempunyai temperature yang sama dan (b) satu derajat Celsius 1,8 kali besar daripada satu derajat Fahrenheit. (180:100=1,8).
Ada satu hal yang sering dilupakan : thermometer sesungguhnya hanya mengukur temperature mereka sendiri.
Coba renungkan. Sebuah thermometer dingin menghasilkan bacaan temperature rendah; sebuah thermometer panas menghasilkan bacaan temperature tinggi. Sebuah thermometer tidak memberikan bacaan temperature sebuah benda sampai kita menempelkannya di benda itu dan menjadi hangat, atau menjadi dingin, sampai sama dengan temperature benda bersangkutan. Itu sebabnya kita harus menunggu sampai temperature demam dihangatkan oleh tubuh kita sebelum memberikan bacaan yang benar.
Perlu di ingat! Termometer suhu badan bukan mengukur temperature tubuh melainkan mengukur temperaturnya sendiri.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 06.57 0 komentar
Label: Kimia Fisika
Menyelidiki Asal Usul Sklerosis Multipel
Minggu, 01 November 2009
MS telah lama dikenal sebagai suatu masalah besar bagi dokter dan pasien. Penyakit inflamasi sistem saraf pusat ini sangat umum terjadi di wilayah Amerika bagian utara, dan biasanya menyerang individu-individu usia muda. Beberapa pasien dapat mengalami cacat yang permanen akibat MS. Oleh karena itu, penelitian mengenai MS telah dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun, tetapi selama ini belum ada yang berhasil mengungkap mekanisme perkembangannya.
Sebenarnya ada banyak bukti yang mendukung teori bahwa MS distimulasi oleh reaksi autoimun, atau bekerjanya sistem imunitas menjadi senjata makan tuan bagi tubuh manusia itu sendiri, khususnya pada bagian otak. Pengobatan dan terapi yang tersedia bagi pasien dapat menekan efek negatif dari sel-sel imun, serta memperlambat pekembangan penyakit tersebut. Meskipun demikan, survei membuktikan bahwa semakin efektif pengobatan yang digunakan, maka efek sampingnya pun akan semakin besar. Hal inilah yang mendesak para peneliti biomedis untuk mengembangkan obat baru yang dapat membedakan sel-sel imun target dengan sel imun lainnya yang tidak terlibat. Proses tersebut membutuhkan pemahaman yang lebih dalam mengenai MS itu sendiri.
Setelah dijalani, ternyata riset MS tidak semudah teorinya. Masalah ini terletak pada pusat infeksi penyakit ini yang berada di sel-sel otak yang sangat sensitif sehingga hampir mustahil untuk diobservasi tanpa membahayakan keselamatan pasien. Oleh karenanya, studi MS sangat tergantung pada permodelan menggunakan hewan laboratorium, seperti yang dilakukan oleh tim Max Planck dkk. Tikus-tikus biakan mereka menunjukkan pola perkembangan MS yang identik dengan manusia. Permodelan terbaru ini juga menampilkan perkembangan penyakit yang spontan dengan adanya injeksi berisi jaringan otak. Sampai tahap ini, mereka menemukan bahwa dibutuhkan sel imun yang lebih banyak dari dugaan semula untuk menimbulkan reaksi spontan tersebut.
Sejauh peranan sel T dan sel B dalam perkembangan MS, hasil studi sebelumnya gagal untuk menjelaskan peranan dari sel B.. Permodelan MS pada tikus mengungkapkan bahwa sel T akan lebih aktif dalam mengatasi infeksi, sementara sel B sifatnya hanya sebagai subordinat. Selanjutnya, sel T akan menyerang jaringan otak, namun hal ini saja belum cukup untuk menimbulkan penyakit. Tikus-tikus tersebut tetap sehat bahkan setelah sel-sel B mereka diambil. Eksperimen ini menunjukkan adanya suatu interaksi antara sel B dangan sel T yang menyebabkan berkembangnya MS di dalam tubuh.
Fakta mengejutkan lainnya adalah ketidaklaziman dalam pola serangan sel-sel T. Biasanya, sel-sel T yang autoreaktif akan mengenali dan menyerang protein MOG yang terdapat pada permukaan sel-sel otak. Ternyata tikus-tikus yang tidak memiliki MOG pun dapat diserang oleh sel T. Dalam hal ini, tim ilmuwan tersebut menyimpulkan bahwa sel-sel T yang mengenali protein MOG juga dapat bereaksi dengan protein lain di dalam otak.
Kemungkinan fakta inilah yang menyebabkan tingginya tingkat keagresifan sel-sel T pada pasien MS. Langkah selanjutnya yang saat ini sedang dilaksanakan adalah mengidentifikasi sel-sel T yang ’spesial’ tersebut di dalam tubuh. Mereka berharap hasilnya kelak dapat menjadi basis dari pengembangan obat MS yang lebih efektif dan aman.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 02.05 0 komentar
Label: Biokimia
Kemajuan Neuroscience Membuka Kemungkinan Edit Memori
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 02.01 0 komentar
Label: Biokimia
Kekurangan Gizi di Otak secara perlahan akan memicu Alzheimer
Penyakit tersebut akan dimulai pada umur 60, dan resiko meningkat dengan umur. Robert Vassar dari Universitas Northwestern, pengarang utama kajian, menemukan bahwa ketika otak tidak memiliki cukup glukosa, yang bisa terjadi ketika penyakit kardiovaskular membatasi aliran darah dari arteri ke otak. Ini adalah proses yang akan menstimulasi produksi agregat protein yang berpotensi menjadi penyebab Alzheimer.
Setelah bekerja dengan otak manusia dan tikus, Vassar menemukan bahwa protein utama di otak terganggu ketika pasokan energi ke otak berkurang. Protein tersebut, yang disebut sebagai eIF2alpha, meningkatkan produksi enzim, yang pada akhirnya meproduksi agregat protein. ‘Penemuan ini signifikan, sebab ia menganjurkan bahwa meningkatkan aliran darah ke otak dapat menjadi pendekatan terapetik efektif untuk mencegah dan merawat Alzheimer’, Demikian kata Vassar.
Cara terbaik untuk meningkatkan aliran darah ke otak, dan mengurangi resiko untuk terkena alzheimer adalah mengurangi asupan kolestrol, mengatur tekanan darah tinggi, dan olah raga, terutama pada usia paruh baya. ‘Jika dimulai dari sejak awal, maka penyakit ini dapat dihindari.’ kata Vassar. Untuk orang yang sudah mendapatkan gejala, vasodilator (pelebaran pembuluh darah), dapat meningkatkan asupan oksigen dan glukosa ke otak, demikian tambahan dari dia. Kajian ini sudah dipublikasi pada jurnal Neuron.
Kontrol apa yang dimakan
Ketika berbicara pencegahan Alzheimer, memakan permen bukanlah solusi untuk meningkatkan aliran glukosa darah ke otak, demikian kata Vassar. Berkurangnya aliran darah ke otak terjadi dengan berjalannya proses penuaan, dan secara perlahan menyebabkan otak kekurangan glukosa. Ini adalah fenomena penuaan secara umum, kata Vassar. Juga, penurunan aliran darah diasosiasikan dengan atherosclerosis, atau pengerasan arteri, dan hipertensi, juga tekanan darah tinggi.
‘Kita harus meningkatkan kesehatan kardiovaskular, bukan mengasup gula berlebihan’, kata Vassar. ‘Apa yang didapat dari kajian epidemiologi adalah olah raga saat paruh baya adalah salah satu strategi pencegahan terbaik terhadap penyakit Alzheimer, maka orang harus tetap aktif secara fisik, dan mereka harus menjaga diet dan mengurangi asupan kolestrol, sebab kolestrol berkontribusi pada artherosclerosis’. Menurut Vassar, adalah mungkin mendesain obat untuk memblok protein elF2alfa yang memulai formasi agregat protein, yang dinamakan plak amiloid.
Penemuan awal
Sepuluh tahun yang lalu, Vassar menemukan enzim, BACE1, yang bertanggung jawab untuk membuat agregat protein lengket yang terbentuk diluar neuron, dan mengganggu kemampuan mereka untuk mengirim pesan. Namun penyebab tingginya tingkat protein pada orang dengan penyakit tersebut sama sekali tidak diketahui. Kajian Vassar yang terbaru juga menunjukkan bahwa kekurangan energi di otak dapat memacu proses pembentukan plak di Alzheimer. Vassar berkata bahwa kerjaan dia menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer dapat diakibatkan dari beberapa tipe kekurangan energi yang terjadi pada stroke. Sel otak bereaksi dengan meningkatkan BACE1, yang dapat menjadi respon protektif jangka pendek, namun merusak di jangka panjang.
“Stroke adalah penahan yang mencegah aliran darah dan memproduksi kematian sel pada saat yang akut dan dramatis”, kata Vassar. “Apa yang kita bicarakan disini adalah proses lamban yang terjadi bertahun-tahun, dimana orang memiliki kecenderungan rendah terhadap penyakit kardiovaskular atau artherosclerosisi. Ia sangat tidak terasa, namun memiliki efek jangka panjang, sebab ia memproduksi reduksi kronis pada aliran darah.’ Vassar juga menekankan, bahwa jika orang sudah mencapai umur tertentu, sebagian akan mendapatkan peningkatan level enzim yang menyebabkan plak tersebut.
Diposting oleh Alfa webBlog UNESA di 01.55 0 komentar
Label: Biokimia